Ubaid memintaku untuk menunggu. Dia berjanji akan menikahiku musim panas tahun depan. Aku yang dungu pun menunggu!! Setahun berlalu, beberapa proposal taaruf sudah kutolak dengan alasan “sudah ada calon”. Intensitas komunikasiku dengan Ubaid sudah jauh berkurang. Selain karena kesibukannya menghadapi ujian, juga demi menjaga hubungan kami agar tidak melewati batas.
Hingga tiba masa yang kunantikan. Liburan musim panas tahun berikutnya! Ubaid pulang ke Indonesia dengan istri dan dua anaknya! Ya, DUA anaknya. ternyata istrinya baru saja melahirkan anak kedua mereka.
Kunantikan janjinya. Pekan pertama, kedua, dan ketiga. Saatnya Ubaid datang dan menikahiku! Tapi tak ada kabar darinya! Kutelpon seorang akhwat temanku yang juga adalah tetangganya. temanku mengabarkan, Ubaid sedang menjaga istrinya di Rumah Sakit! Ternyata pekan lalu, istrinya mencoba bunuh diri dan mengancam akan membunuh bayinya setelah mengetahui rencana pernikahan kami! Allahul musta’an
Saat itu juga ku mantapkan niatku untuk mengakhiri semuanya. Walau sedikit terlambat! Ternyata Ubaid tidak pernah menyatakan niatnya menikahiku kepada istrinya, dia berencana melakukannya diam-diam. Dan dia juga tidak pernah memberitahuku bahwa istrinya mengidap depresi berat.
Singkat kata, aku menyiakan 1,5 tahun usiaku untuk menunggu seseorang yang tak layak kutunggu!
Hikmah apa yang bisa kita ambil dari kisah fulanah diatas?
Poligamy memang adalah sunnah yang sangat mulia. Apalagi sunnah yang satu ini seringkali di anak tirikan bahkan oleh umat muslim sendiri. Jadi tak perlu lagi di ragukan atau di perdebatkan tentang hukum dan keutamaannya.
Justru yang patut kita soroti adalah adab “calon” pelaku poligamy.
Betapa sering kita jumpai kisah seperti di atas walau mungkin tidak sedramatis itu? Betapa banyak wanita-wanita yang harus “patah hati” karena merasa di permainkan oleh “calon pelaku poligamy”? Setelah menabung harap, ternyata si ikhwan hanya “coba-coba”. Ternyata ia belum benar-benar siap dan belum “menyiapkan” keluarganya.
So, bapak-bapak, kalau mau nikah lagi yang ‘wise’ ya. Jangan grusa grusu cari akhwat dulu kalau belum benar-benar siap dan sanggup bersikap “jantan” menghadapi semua rintangan .
Walaupun izin dan restu istri/keluarga tidak wajib ada, tapi setidaknya akan mengurangi banyak hal tidak menyenangkan di kemudian hari. Kalaupun mau lanjut tanpa izin dan restu keluarga, silahkan saja, asal mampu menanggung segala resiko dan akibatnya. Jangan malah lari di tengah jalan, sementara ada akhwat yang menangis karena terlalu awal menabung harap.
Untuk saudari-saudariku tercinta di luar sana, jangan gampang “main hati”.. Buang jauh-jauh rasa cinta dan sejenisnya sampai akad sudah terucap.. selain menghindarkan diri dari dosa juga menghindarkan diri dari sakit hati, insya Allah..
Sumber: bloghidayah.wordpress.com
Halaman 1 2 3 4 5
Silakan Copy Artikel yang ada di sini, tapi cantumkan sumbernya http://ift.tt/1Cwarlm
0 Response to "Ukhti... Izinkan Aku Jadi Bagian Cinta Suamimu"
Post a Comment